SURABAYA, radarmerahputih.com -- Kasus dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) yang menghebohkan Kabupaten Lamongan, dengan terdakwa Eks Kepala Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura, dan Perkebunan (TPHP) Lamongan, Rujito dan kotraktor Mohammad Zaenuri, S.Ag, kini memasuki sidang pembuktian di Pengadilan Tipikor, Senin (23/5/2022).
Dalam sidang tersebut, Ahli Pidana dan Kriminolog dari Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya Dr. M. Sholehuddin, SH., M.H dihadirkan sebagai saksi ahli dalam perkara dugaan korupsi yang menjerat kedua terdakwa tersebut.
Dihadapan majelis hakim yang diketuai hakim Cokorda Gede SH, MH, Sholehuddin menjelaskan bahwa jika mengacu pada Surat Edaran MA (SEMA) No. 4 Tahun 2016, yang berwenang menetapkan ada tidaknya kerugian negara adalah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
Dalam sidang tersebut, Sholehuddin juga diminta untuk menjelaskan tentang rumusan kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam UU Tindak Pidana Korupsi.
Berkaitan dengan rumusan kerugian keuangan negara, Sholehuddin mengatakan, bahwa pasal 2 dan pasal 3 menjadi delik materil yang artinya harus terjadi akibat kerugian keuangan negara.
Setelah adanya Putusan MK, bentuk kerugian keuangan negara itu harus nyata dan dapat diketahui pasti jumlahnya sehingga lebih bersifat actual loss bukan berdasarkan potensi, kata ahli.
Usai menjelaskan pemaparan tersebut, lantas membuat tim penasihat hukum menanyakan kepada saksi ahli terkait pemenuhan unsur delik apabila kerugian dari hasil pemeriksaan dan temuan keuangan negara terdapat pengembalian.
Menurut ahli, untuk menafsirkan pasal 2 dan pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi harus menggunakan sistematika, karena ada undang-undang lain yang mempunyai kewenangan untuk mempersoalkan.
Kemudian keuangan negara, dulu pemeriksaan BPK, harus dilakukan sesuai undang-undang pengelolahan dan pertanggungjawab keuangan negara. Ketika ini sudah diselesaikan, maka selesai disitu. Kalau ada dugaan terjadi tindak pidana? Anggota BPK akan meneruskan ke pidananya, terangnya.
Saksi ahli kemudian dimintai pendapatnya mengenai suatu kerugian negara yang sudah dikembalikan atas rekomendasi dari BPK, yang mempertanyakan apakah masih bisa dikatakan kerugian negara.
Itu final, pemeriksaan sudah final. Itu pemeriksaan dikeluarkan oleh BPK, kata saksi ahli yang juga sebagai dosen pasca Sarjana Ubhara Surabaya
Tim penasihat hukum meminta pendapat kepada ahli terkait hasil pemeriksaan dari dua lembaga pemeriksaan keuangan antara BPK dan BPKP yang dijadikan alat bukti dalam perkara ini.
Ahli, tolong jelaskan apakah keduanya bisa dijadikan alat bukti, kata tim penasihat hukum terdakwa.
Menurut pendapat ahli, kedua hasil pemeriksaan tersebut bisa dijadikan alat bukti. Alat bukti yang sah ini, tambah Sholehuddin, sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, itu harus memenuhi empat kriteria, yaitu validitas, relevansi, signifikan, dan kredibel.
Jadi BPKP bukan lembaga pemeriksa keuangan, BPKP itu Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan. Berarti kalau ditarik menjadi alat bukti, apakah itu alat bukti yang sah. Jawabannya tegas tidak sah, kata ahli.
Ahli juga menyebut surat Edaran MA (SEMA) No.4 Tahun 2016 yang isinya pengelaborasi dari ketentuan dan kewenangan yang dibuat di dalam undang-undang BPK, undang-undang pengelolahan dan pertanggungjawaban negara juga putusan MK.
Jadi hakim bisa menilai apakah alat bukti ini, bisa valid, relevan, signifikan dan kredibel patut dipercaya dan itu kewenangan majelis hakim, paparnya lebih lanjut.
Lantas Jaksa Penuntut Umum (JPU) Nizar dari Kejaksaan Negeri Lamongan menanyakan apakah ahli sudah mengetahui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012.
Saya sudah membaca itu, makanya tadi saya sampaikan, SEMA No.4 Tahun 2016 itu mengelaborasi termasuk dari bunyi atau subtansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012. Intinya itu banyak disalah pahami hakim bisa menggunakan alat bukti lain soal penghitungan kerugian keuangan negara. Bisa menggunakan hasil penghitungan BPKP, audit publik bisa. Itu nanti soal keyakinan majelis hakim soal alat bukti yang sah, terangnya.
Ahli juga mengatakan, ilmu hukum pidana hanya menjelaskan dan memberikan rambu-rambu.
Ini loh alat bukti yang sah, harus begini. Keyakinan hakim berdasarkan disitu. Makanya jaksa itu boleh mengajukan penghitungan BPKP, terangnya.
Usai persidangan, salah satu tim penasihat hukum terdakwa, Prayogo Laksono mengatakan, dari hasil keterangan ahli dalam persidangan itu bisa dibuat konsep di dalam pledoi nanti. Salah satunya keabsaan alat bukti yang valid dan relevan.
Menurut Prayogo, fakta-fakta di persidangan berkaitan dengan pendapat ahli dari Dr. M. Sholehuddin, terutama hasil-hasil pemeriksaan BPKP itu oleh ahli dianggap tidak sah. Karena terlahalang oleh surat Edaran MA (SEMA) No.4 Tahun 2016.
Yang diakui oleh SEMA No.4 tahun 2016 itu adalah hasil dari pemeriksaan BPK untuk menentukan kerugian negara, ucapnya saat dikonfirmasi setelah persidangan.
Prayogo juga mengatakan untuk segera membebaskan para terdakwa.
Jika kehilangan satu unsur saja untuk menentukan perbuatan pidana terdakwa, maka sudah selayaknya para terdakwa dibebaskan, tegasnya.
Diketahui, Mohammad Zaenuri S.Ag (Direktur CV. Media Sarana Teknologi) pelaksana pekerjaan urugan tanah untuk gedung kantor pada Dinas Tanaman Pangan Holtikultura dan Perkebunan Kabupaten Lamongan Tahun 2017.
Mohammad Zaenuri diduga melakukan perbuatan melawan hukum mengupload dokumen penawaran berupa surat dukungan limestone dari PT. Karya Internusa tanpa sepengetahuan dari direktur perusahaan dan telah bertindak sebagai pelaksana pekerjaan sebagaimana kontrak/surat perjanjian nomor : 050/2952/413.119/PPK/urugan XI/2017 tanggal 06 November 2017 nilai Rp. 1.496.711.000,- selanjutnya dalam pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai spesifikasi, komposisi, volume, metode pekerjaan tanpa adendum /CCO melakukan perbuatan menguntungkan diri sendiri /orang lain dengan menandatangani laporan progres yang tidak sesuai dengan fisik dan digunakan sebagai dasar pembayaran sehingga mengakibatkan Negara dirugikan sebesar Rp. 564.946.073.73,-
( Red )
0 Komentar